Pemerintah Perlu Ciptakan Ekosistem Perdagangan Karbon

Pemerintah Perlu Ciptakan Ekosistem Perdagangan Karbon

Pemerintah diminta segera membuat kerangka ekosistem dan hukum yang jelas untuk mendukung implementasi pasar karbon di negeri ini. Direktur Eksekutif Lembaga Riset Dekarbonisasi Indonesia (IRID), Moekti Handajani Soejachmoen mengatakan, keberadaan pasar karbon atau nilai ekonomi karbon tidak bisa dilaksanakan begitu saja karena ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi.

Adapun salah satu syarat yang harus dihadirkan yaitu adanya permintaan yang menjadi dasar terciptanya pasar karbon. Dasarnya adalah entitas atau pihak yang mengeluarkan karbon dari batas emisi yang ditetapkan dan ada juga entitas yang emisinya di bawah batas emisi yang ditetapkan.

“Bagaimana cara mengajukan permohonan, ini perlu dibuat dan perlu ada simulasinya,” kata Moekti Handajani saat menjadi pembicara dalam webinar Katadata Sustainability Action For The Future Economy (SAFE) 2022 “Recover Stronger Recover Sustainable”, Selasa (23/10). ). /8).

Selain itu, beberapa kendala yang sering dihadapi perusahaan berupa akses teknologi, pembiayaan dan regulasi juga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan swasta. “Salah satu isu terbesar dalam pajak karbon adalah akses ke teknologi, regulasi dan pembiayaan. Dua hal yang terkena dampak langsung dari industri adalah pembiayaan dan akses ke teknologi,” ujarnya.

Pada forum yang sama, Ilham selaku Koordinator Jasa Pemanfaatan Karbon Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, saat ini pemerintah sedang menggodok beberapa regulasi yang dikeluarkan Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. dan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. “Dari dua regulasi tersebut, harus ada aturan pelaksananya, seperti Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur peta jalan pajak karbon yang harus disetujui DPR. Saat ini masih berjalan, masih dalam penyusunan,” ujar Ilham .

Ilham menambahkan, pemerintah telah melakukan uji coba pasar karbon di pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) selama dua minggu yang menghasilkan nilai transaksi sebesar Rp1,5 miliar. Karbon yang ditransfer mencapai 42.455,42 ton CO2.

“Sektor yang paling siap PLTU batu bara, kalau dikembangkan bukan hanya PLTU, tapi di sektor migas, sektor industri, kemudian juga dari energi baru terbarukan dan kehutanan, ini akan meningkatkan pendapatan Indonesia dari pasar karbon,” Ilham katanya. .

Panel ahli Katadata Insight Center, Gundy Cahyadi, mengatakan perdagangan karbon adalah alat utama untuk transisi energi. Gundy menjelaskan, perdagangan karbon bisa berjalan jika di satu sisi ada entitas yang mengeluarkan gas rumah kaca kurang dari kuota yang telah ditentukan dan di sisi lain ada entitas lain yang mengeluarkan gas rumah kaca melebihi kuota.

“Jadi entitas A memiliki space atau kredit karbon sehingga dia bisa menjual kuotanya ke entitas B. Sedangkan entitas B membeli kuota dari entitas A. Ini sebagai alat untuk fase transisi menuju nol emisi,” jelas Gundy.

Gundy mengatakan, Indonesia memiliki peluang besar dalam perdagangan karbon karena memiliki modal hutan tropis terbesar di dunia dengan luas 125,9 juta hektar. Selain itu, Indonesia memiliki 3,31 juta hektar hutan mangrove dan 7,5 juta hektar lahan gambut. Masing-masing mampu menyerap 25,18 miliar ton karbon, 33 miliar ton karbon, dan 55 miliar ton karbon.

“Dengan sistem perdagangan karbon terintegrasi, Indonesia bisa mendapatkan Rp 8.000 triliun per tahun dari perdagangan karbon,” kata Gundy.

Menanggapi hal itu, Moekti Handajani mengatakan, perhitungan perdagangan karbon di sektor kehutanan perlu dihitung lebih cermat. Menurutnya, penghitungan harus membedakan antara potensi serapan dari sektor kehutanan dan berapa luas lahan yang bisa dimonetisasi.

“Kalau bicara dari sektor lahan dan kehutanan, penyerapannya tidak permanen, selalu sementara. Anda harus berhati-hati saat menghitung luas lahan dan potensi serapan melalui tanaman yang ada atau menanam kembali dengan daya serap lebih tinggi nantinya. ,” dia berkata.

Diperkirakan sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami, atau bahkan belum pernah mendengar istilah-istilah terkait ekonomi hijau. Menurut survei Katadata Insight Center (KIC) terhadap 3.105 responden, mereka umumnya belum pernah mendengar istilah seperti “ekonomi hijau”, “keuangan hijau”, “perbankan hijau”, atau “keuangan berkelanjutan” dengan kisaran persentase 24%. -43%. ditampilkan pada grafik.

Hanya sekitar 20%-27% responden yang mengaku mengetahui arti istilah tersebut. Sementara itu, sekitar 36%-48% responden lainnya pernah mendengar istilah di atas, namun tidak tahu artinya.